Makna dan Hikmah Halal bi Halal
Halal bi Halal adalah suatu bentuk ungkapan khusus pada waktu dan tempat tertentu sebagai pengganti dari kata Silatur-Rahmi pada kedua hari raya islam yang telah membudaya di beberapa Negara di Asia Tenggara khusnya Indonesia. Jika kita kembali pada sejarah Islam, sejak zaman Rasulullah SAW, sahabat, para tabi’ dan tabi’ tabi’in bahkan hingga saat ini, maka kita tidak akan mendapatkan istilah Halal bi Halal kecuali Silatu Rahim. Meskipun Istilah Halal bi Halal ini berasal dari bahasa Arab yang berarti “Halal dengan yang halal” atau “sama-sama saling menghalalkan” atau kadang pula diartikan dengan “saling maaf memaafkan/saling menghalalkan dosa masing-masing” namun terdapat kerancuan pemahaman di kalangan orang Arab itu sendiri (ashab al-lughah) terhadap penggunaan dan maksud dari istilah ini.Tidak mengherankan jika orang Arab akan terheran-heran di saat mereka bertanya tentang acara Halal bi Halal yang sedang dirayakan oleh masyarakat Indonesia yang berada di Arab. Mereka pun akan memahaminya setelah mendapatkan penjelasan tentang sebab dan maksud dari perayaan itu dan kadang mendapat sorotan tentang kesalahan penempatan bahasa yang dimaklumi sebagai bahasa atau ungkapan orang yang baru belajar bahasa Arab namun kadang pula mendapat pujian tentang dalamnya hikmah yang terkandung dari ungkapan tersebut.
Pada ayat ini, telah mengisyaratkan akan adanya sifat pemaaf, yang kemudian pada ayat 237 surah Al-Baqarah disebutkan bahwa :
وَ أَنْ تَعْفُوْا أَقـْرَبُ لِلتـَّقـْوَى
“..Dan jika kamu memaafkan, maka hal itu lebih dekat kepada takwa…”
Memaafkan orang lain sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh baginda Rasulullah SAW di awal dakwahnya, bahkan beliau mendoakan mereka yang ingkar dan telah melukainya di saat Jibril as meminta kepadanya untuk memohon balasan atau azab Allah bagi mereka, merupakan suatu kesabaran dan keteguhan hati dalam meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Hal senada pun akan dijumpai dalam berpuasa pada bulan Ramadhan, dimana dengan berpuasa akan melatih kesabaran dan membentuk keperibadian dalam meraih tujuan utama dari puasa yaitu:
لـَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْن
“…Agar kamu bertakwa” (QS.Al-Baqarah:183)
Sehingga para ulama yang menyebarkan islam di Indonesia, di saat menjawab pertanyaan-pertanyaan orang awam tentang perbedaan Silatur Rahmi pada hari-hari biasa dan pada hari Ied, mereka lebih menyederhanakan perbedaan tersebut dengan Istilah baru yaitu Halal bi Halal, yang dapat berarti bahwa bersilatur rahmi di hari biasa boleh jadi Haram bi Halal atau orang yang menjalin hubungan telah berbuat salah dan dalam keadaan biasa-biasa saja terlebih lagi di Indonesia, ungkapan silatur rahmi lebih diterjemahkan dengan sekedar berziarah. Sedangkan bersilatur rahmi setelah Ied merupakan refleksi dari pembentukkan keperibadian di saat berpuasa sehingga orang yang menjalin dan dijalin silatur rahmi dalam keadaan suci, sadar dan ikhlas untuk memaafkan dan dimaafkan serta memperbaiki hubungan yang telah kusut.
Makna dari Halal bi Halal ini akan lebih bermakna jika puasa yang dilakukan benar-benar sempurna dan mampu meraih tujuan utama dari puasa itu sendiri yaitu meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Allah SWT. Karena Rasulullah SAW bersabda :
رُبَّ صَائِمٍ لـَيْسَ لَهُ مِنٓ صِيَامِهِ إِلاَّ الـْجُوْع
“Banyak sekali orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar” (HR.Nasai, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
SHALAT IDUL FITRY
.
Makna Idul Fitri
Bagi muslim yang diterima puasanya karena mampu menundukan hawa nafsu duniawi selama bulan Ramadhan dan mengoptimalkan ibadah dengan penuh keikhlasan, maka Idul Fitri adalah hari kemenangan sejati, dimana hari ini Allah Swt akan memberikan penghargaan teramat istimewa yang selalu dinanti-nanti...
Bagi muslim yang diterima puasanya karena mampu menundukan hawa nafsu duniawi selama bulan Ramadhan dan mengoptimalkan ibadah dengan penuh keikhlasan, maka Idul Fitri adalah hari kemenangan sejati, dimana hari ini Allah Swt akan memberikan penghargaan teramat istimewa yang selalu dinanti-nanti...
Selasa, 00 0000
Bagi
muslim yang diterima puasanya karena mampu menundukan hawa nafsu
duniawi selama bulan Ramadhan dan mengoptimalkan ibadah dengan penuh
keikhlasan, maka Idul Fitri adalah hari kemenangan sejati, dimana hari
ini Allah Swt akan memberikan penghargaan teramat istimewa yang selalu
dinanti-nanti oleh siapapun, termasuk para nabi dan orang-orang shaleh,
yaitu ridha dan magfirahNya, sebagai ganjaran atas
amal baik yang telah dilakukannya. Allah Swt juga pernah berjanji, tak
satupun kaum muslimin yang berdoa pada hari raya Idul Fitri, kecuali
akan dikabulkan.
Pertanyaannya,
kira-kira puasa kita diterima apa tidak? Atau yang kita lakukan ini
hanya ritual-simbolik, sebatas menahan lapar dan haus, seperti yang
pernah disinyalir Nabi Muhamad Saw? Jawabnya, Allahu ‘alam,
kita tak tahu sejatinya. Tapi menurut para ulama, ada beberapa
indikasi, seseorang dianggap berhasil dalam menjalankan ibadah puasa:
ketika kualitas kesalehan individu dan sosialnya meningkat. Ketika
jiwanya makin dipenuhi hawa keimanan. Ketika hatinya sanggup berempati
dan peka atas penderitaan dan musibah saudaranya di ujung sana. Artinya
penghayatan mendalam atas Ramadhan akan membawa efek fantastik,
individu, maupun sosial.
Penghayatan
dan pengamalan yang baik terhadap bulan ini akan mendorong kita untuk
kembali kepada fitrah sejati sebagai makhluk sosial, yang selain punya
hak, juga punya kewajiban, individu dan sosial. Sudahkan kita
merasakannya? Itulah rahasia kenapa selamat hari raya Idul Fitri
seringkali diakhiri dengan ucapan Minal ‘Âidîn wal Faizîn
(Semoga kita termasuk orang-orang yang kembali pada fitrah sejati
manusia dan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat). Selain sebagai
doa dan harapan, ucapan ini juga bak pengingat, bahwa puncak prestasi
tertinggi bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa paripurna, lahir
dan bathin, adalah kembali kepada fitrahnya (suci tanpa dosa).
Makna Idul Fitri
Sejak
Idul Fitri resmi jadi hari raya nasional umat Islam, tepatnya pada
tahun II H. kita disunahkan untuk merayakannya sebagai ungkapan syukur
atas kemenangan jihad akbar melawan nafsu duniawi selama
Ramadhan. Tapi Islam tak menghendaki perayaan simbolik, bermewah-mewah.
Apalagi sambil memaksakan diri. Islam menganjurkan perayaan ini dengan
kontemplasi dan tafakur tentang perbuatan kita selama ini.
Syeikh Abdul Qadir al-Jailany dalam al-Gunyah-nya
berpendapat, merayakan Idul Fitri tidak harus dengan baju baru, tapi
jadikanlah Idul fitri ajang tasyakur, refleksi diri untuk kembali
mendekatkan diri pada Alah Swt. Momen mengasah kepekaan sosial kita.
Ada pemandangan paradoks, betapa disaat kita berbahagia ini,
saudara-saudara kita di tempat-tempat lain masih banyak menangis
menahan lapar. Bersyukurlah kita! Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal
1428 H. Mohon maaf lahir dan bathin.
Tulisan Terkait
SANTRI PESANTREN MANBA'UL HUDA
mengisi acara muludan dengan membawakan nadom nadom islami atas didikan mang ALI NURDIN.
- Asal muasal Maulid Nabi, yaitu berasal dari kaum bathiniyyah (kebatinan) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum salib; maka di sini kita perlu mengatakan kepada orang-orang yang menilai masalah secara proporsional, logis dan obyektif:
- “Apakah benar jika kita menjadikan orang-orang seperti itu sebagai sumber ibadah kita dan syiar agama kita?”
Sementara kita mengatakan:
- “Sesungguhnya abad-abad awal yang diutamakan oleh Allah, tempat para panutan kita -salafuna shalih- hidup tidak ada secuilpun bagi adanya ibadah semacam ini, apakah dari ulamanya ataupun dari masyarakat awamnya. Tidakkah cukup bagi kita apa yang dahulu cukup bagi mereka, salafus shalih itu?”
BERGAYA BARENG .
CURUG CI SAAT PAMULIHAN
BERITA TERBARU
sekolah dasar(SD) 02 PAMULIHAN.
sekolah ini menghasilkan murid murid ternama di wilayah kalipada khususnya, dan cirangkis,,
sekolah kenangan kita bersama










